Pernikahan Dini, Pendidikan Perempuan, dan Produktivitas Nasional

Hari pendidikan nasional merupakan momentum yang tepat untuk merefleksikan kembali arah pembangunan bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa tujuan pendidikan seperti yang tercantum di dalam UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan adalah untuk mencapai peradaban bangsa yang bermartabat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia juga memiliki cita-cita untuk menjadi bangsa yang kuat dengan SDM yang unggul. Mimpi tersebut berjalan selaras dengan komitmen untuk menjadikan pengembangan sumber daya manusia sebagai prioritas pembangunan nasional, yang tercermin dari alokasi dana pendidikan yang mencapai 20% dari APBN sejak 2009. 

Picture is credit to Husniati Salma @husniatisalma, taken from unsplash.com

Meskipun belum sempurna dan meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah, namun capaian yang dihasilkan dalam upaya memperbaiki pendidikan nasional patut diapresiasi. UNDP mencatat, sepanjang periode 2010-2019, human development index atau indeks pembangunan manusia Indonesia meningkat dari 0.665 menjadi 0.718. Salah satu komponen yang mendongkrak capaian tersebut adalah peningkatan harapan lama sekolah dari 12.2 tahun menjadi 13.6 tahun. Secara khusus, angka harapan lama waktu sekolah untuk anak perempuan bahkan lebih besar dari rata-rata tersebut, yaitu 13.7 tahun.

Namun sayangnya, ada kemungkinan progress yang dicapai tersebut mengalami kemunduran di tahun 2020. Pasalnya, selama Januari – Juni 2020 saja, terdapat sekitar 32.980 permohonan dispensasi yang dikabulkan Kementerian Agama untuk pernikahan dini, di mana salah satu pasangan berusia di bawah 19 tahun. 

Mayoritas pelaku pernikahan dini adalah perempuan. Hal ini terlihat dari data BPS yang menunjukkan selama 2020, sebanyak 3,22% perempuan menikah di bawah 15 tahun dan 27,35% di rentang usia 16 – 18 tahun. Sementara itu, persentase laki-laki yang menikah di kategori usia tersebut hanya sebesar 6,4%. Tingginya angka pernikahan dini para perempuan tersebut dapat menggerus capaian di bidang pembangunan sumber daya manusia karena berdampak pada meningkatnya angka putus sekolah. 

Dipicu Oleh Motif Ekonomi 

Lebih lanjut, perempuan dari rumah tangga berpendapatan rendah lebih rentan untuk mengalami pernikahan dini. Survei BPS di tahun 2020 yang menunjukkan bahwa sekitar 3% remaja yang menikah di usia 15 tahun atau lebih muda berasal dari 40% kelompok pengeluaran rumah tangga terbawah. Sementara itu, hanya 1,85% dari 40% kelompok pengeluaran menengah dan 0,91% remaja dari 20% kelompok ekonomi teratas yang menikah di usia tersebut.

Picture is credit to Scott Umstattd@scott_umstattd, taken from unsplash.com

Menurut studi yang dilakukan IBRD-World Bank di tahun 2015, pernikahan dini banyak terjadi pada keluarga miskin karena terbatasnya sumber daya dan kesempatan bagi mereka untuk memberikan pilihan alternatif bagi anak-anak perempuannya. Tingkat pendidikan dan konteks sosial budaya dalam masyarakat turut mempengaruhi kecenderungan anak-anak menikah sebelum tumbuh dewasa. Norma-norma hasil konstruksi sosial dapat pula membuat orang tua tidak melihat pendidikan bagi anak perempuan sebagai sebuah investasi yang patut diprioritaskan. Sebaliknya, anak perempuan sering dipandang sebagai beban ekonomi keluarga, yang dapat diatasi dengan pernikahan. 

Penelitian yang dilakukan Smeru, Unicef, dan Bappenas juga menemukan bahwa ekonomi menjadi motif utama dalam pernikahan di bawah umur. Menikahkan anak perempuan menjadi solusi bagi banyak orang tua yang ingin lebih sejahtera atau mempertahankan kelangsungan hidup. Dengan kata lain, kemiskinan menjadi penyebab utama pernikahan anak. 

Menengok data BPS di tahun 2020, jumlah warga miskin melonjak sebesar 2,7 juta jiwa, mematahkan catatan penurunan kemiskinan yang terus terjadi selama beberapa tahun terakhir. Jika demikian, artinya ada korelasi antara kenaikan angka kemiskinan dengan peningkatan pernikahan anak.

Dampak Buruk Pernikahan Dini 

Secara umum, dalam disimpulkan bahwa pernikahan dini berdampak buruk bagi pendidikan dan pembangunan SDM karena tiga alasan. Pertama, mengurangi kesempatan pendidikan dan peluang hidup sejahtera bagi perempuan. Kedua, meningkatkan risiko dan mengurangi kesempatan bagi anaknya di masa mendatang. Terakhir, menghasilkan biaya sosial ekonomi tinggi bagi masyarakat dan negara.

Mari kita kupas satu-satu.

Perempuan yang menikah sebelum dewasa berpeluang tinggi untuk putus sekolah. Sedikit dari mereka yang bisa lulus SMA atau sederajat. Data BPS di tahun 2015 menunjukkan bahwa dari seluruh perempuan yang menikah sebelum 18 tahun misalnya, hanya 8,8% yang bisa menamatkan pendidikan menengah. Pendidikan yang tergolong rendah ini membuat mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan formal. Sumber data yang sama memperlihatkan rasio perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah kawin dan bekerja (EPR) hanya 34,41% dari total populasi.

Selain itu, pendidikan rendah juga membuat terbatasnya keterampilan literasi, numerasi dan keuangan perempuan tersebut. Sehingga agensi atau kemampuannya untuk mengambil keputusan, mengontrol dan mempengaruhi lingkungan di sekitarnya juga menjadi terbatas. Ibu yang kurang berdaya dapat mewariskan rendahnya pendidikan dan kemiskinan kepada anak-anaknya. Akibatnya, alih-alih menjadi solusi, pernikahan dini justru dapat menjerat dan melanggengkan kemiskinan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Photo by Jud on Pexels.com

Temuan-temuan dari berbagai penelitian, seperti yang dilakukan The World Bank bekerja sama dengan Gates Foundation memverifikasi dampak negatif pernikahan dini. Dari segi kesehatan, pernikahan dini rentan terhadap masalah nutrisi dan kurang gizi bagi ibu dan anak, serta tingginya fertilitas dan mortalitas ibu dan anak. Sedangkan dari sisi sosial, data menunjukkan adanya hubungan antara pernikahan dini dengan kekerasan domestik. Di samping itu, pernikahan dini menghambat pendidikan perempuan sehingga berdampak pada pendapatan dan produktivitas pribadi, rumah tangga, serta negara. Ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan merupakan faktor kunci yang mempengaruhi pendapatan seseorang.

Dengan pendidikan yang rendah, pilihan yang ada bagi para perempuan tersebut adalah pekerjaan informal atau unpaid employment dengan mengurus rumah. Selain menawarkan pendapatan dan jaminan sosial yang rendah, sejumlah pekerjaan informal juga memiliki risiko keselamatan dan kesehatan yang tinggi. Jika bekerja di sektor tersebut, perempuan tidak bisa mendapatkan imbalan yang optimal dari keringat yang dihasilkan.

Picture is credit to Fikri Rasyid @fikrirasyid taken from unsplash.com

Meskipun membuka lapangan pekerjaan dalam jangka pendek, informalitas berdampak buruk bagi negara dalam jangka panjang karena membuat alokasi sumber daya di dalam ekonomi menjadi tidak efisien. Jenis pekerjaan ini juga umumnya kurang produktif sehingga menghambat pertumbuhan serta tidak memberikan kontribusi langsung bagi penerimaan negara. Sementara itu, biaya yang ditimbulkan dari pernikahan dini justru sangat besar, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kekerasan berbasis gender, pelayanan kesehatan, hukum dan sosial. Belum lagi jika menghitung dampak jangka panjang terhadap pembangunan, seperti rantai kemiskinan dan ketimpangan yang berkelanjutan dan makin sulit untuk diputus.

Unicef memperkirakan biaya yang timbul dari pernikahan dini mencapai sekurang-kurangnya 1.7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Estimasi ini diperoleh berdasarkan perhitungan aliran dana yang hilang, yang semestinya dapat dihasilkan jika anak perempuan berusia 15-19 tahun menunda pernikahan, sampai setidaknya berusia 20 tahun.

Selain itu, menurut studi yang dilakukan oleh Wodon dkk. di tahun 2017, jika kasus pernikahan dini dapat ditekan, keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh secara global (106 negara) mencapai $566 miliar pada 2030. Ini hanya dari penurunan fertilitas dan laju pertumbuhan populasi yang berkurang. Sementara itu, manfaat yang diperoleh dari penurunan angka kematian anak usia 5 tahun serta kasus stunting masing-masing mencapai $82 miliar dan $16 miliar di tahun 2030. Di sisi lain, anggaran negara yang bisa dihemat juga cukup signifikan, yaitu mencapai $17 miliar untuk 15 negara.

Perlu Peran Aktif Berbagai Pihak

Tingginya biaya yang dihasilkan, membuat upaya menekan angka pernikahan dini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan lintas sektoral. Salah satu strategi yang efektif menurut riset Wodon dkk. (2017) adalah menjaga anak perempuan tetap bersekolah hingga lulus SMA. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, setiap penambahan satu tahun sekolah lanjutan (Secondary School) mengurangi 6 poin persentase peluang pernikahan dini atau kemungkinan remaja mempunyai anak sebelum menginjak usia 18 tahun.

Picture is credit to Ed Us @isengrapher, taken from unsplash.com

Namun, pernikahan dini merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional, yaitu berhubungan erat dengan berbagai isu seperti ketidaksetaraan gender, norma sosial, dan kemiskinan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dan solusi integratif untuk mengatasi hal ini.

Intervensi yang efektif tidak hanya memberikan informasi, keterampilan dan dukungan jaringan kepada anak perempuan, tapi juga meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sekolah bagi anak-anak, menyediakan bantalan ekonomi serta insentif bagi anak perempuan dan keluarganya untuk tetap melanjutkan sekolah serta menunda pernikahan. Edukasi dan mobilisasi komunitas untuk mencegah praktek tersebut juga merupakan kunci dari keberhasilan program.

Picture is credit to Husniati Salma @husniatisalma, taken from unsplash.com

Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah subsidi kebutuhan dan transportasi sekolah, transfer dana bantuan sosial bersyarat yang mendorong orang tua untuk tetap menjaga tetap bersekolah hingga tamat SMA, dan penegakkan (enforcement) aturan wajib belajar 12 tahun. Sedangkan, sektor swasta dan tokoh masyarakat juga dapat mendukung dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai dampak pernikahan dini. Sementara itu, akademisi dan NGO dapat memberikan masukan, tinjauan, monitoring dan evaluasi untuk efektivitas strategi dan program pemerintah.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita pun bisa turut mendukung dengan tidak menormalisasi pernikahan di bawah umur, dan mendorong perubahan norma sosial budaya yang membenarkan pernikahan dini. Anak punya hak untuk tumbuh, belajar dan berkembang sesuai usianya. Pada usia belasan tahun, anak belum cukup matang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Adalah kewajiban orang tua dan tanggung jawab setiap orang dewasa di lingkungan masyarakat untuk menciptakan kondisi yang sehat, agar anak tumbuh optimal. Today, It takes more than a village to raise a child. It takes the whole nation for our future depend on how we treat and educate our children.

Referensi:

Assaad, Ragui, Caroline Krafft, and Irene Selwaness. “The Impact of Early Marriage on Women’s Employment in the Middle East and North Africa.” GLO Discussion Paper Series. Global Labor Organization (GLO), 2017. https://ideas.repec.org/p/zbw/glodps/66.html.

Chabibah, Uswatul, ed. National Strategy on The Prevention of Child Marriage. Bappenas, Kemen-PPPA, Unicef, 2020. https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/National-Strategy-on-Child-Marriage-Prevention-2020.pdf.

“Economic Impacts of Child Marriage: Work, Earnings and Household Welfare Brief | ALNAP.” Accessed May 3, 2021. https://www.alnap.org/help-library/economic-impacts-of-child-marriage-work-earnings-and-household-welfare-brief. World Bank.

“Educating Girls, Ending Child Marriage.” Accessed May 3, 2021. https://www.worldbank.org/en/news/immersive-story/2017/08/22/educating-girls-ending-child-marriage. Heath, Rachel, and Seema Jayachandran.

“The Causes and Consequences of Increased Female Education and Labor Force Participation in Developing Countries.” National Bureau of Economic Research, October 24, 2016. https://doi.org/10.3386/w22766.

“Human Development Data Center | Human Development Reports.” Accessed May 4, 2021. http://hdr.undp.org/en/data. “Human Development Reports | United Nations Development Programme.” Accessed May 5, 2021. http://www.hdr.undp.org/.

Kanjilal-Bhaduri, Sanghamitra, and Francesco Pastore. “Returns to Education and Female Participation Nexus: Evidence from India.” The Indian Journal of Labour Economics 61, no. 3 (September 1, 2018): 515–36. https://doi.org/10.1007/s41027-018-0143-2.

Marshan, Joseph Natanael, Mohammed Fajar Rakhmadi, and Mayang Rizky. “Prevalence of Child Marriage and Its Determinants Among Young Women in Indonesia.” In Child Poverty and Social Protection Conference. SMERU Research Institute, 2013. https://www.neliti.com/publications/605/.

Parsons, Jennifer, Jeffrey Edmeades, Aslihan Kes, Suzanne Petroni, Maggie Sexton, and Quentin Wodon. “Economic Impacts of Child Marriage: A Review of the Literature.” The Review of Faith & International Affairs 13, no. 3 (July 3, 2015): 12–22. https://doi.org/10.1080/15570274.2015.1075757.

Rothenberg, Alexander D., Arya Gaduh, Nicholas E. Burger, Charina Chazali, Indrasari Tjandraningsih, Rini Radikun, Cole Sutera, and Sarah Weilant. “Rethinking Indonesia’s Informal Sector.” World Development 80 (April 1, 2016): 96–113. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.11.005.

Schaner, Simone, and Smita Das. “Female Labor Force Participation in Asia: Indonesia Country Study.” ADB Economics Working Paper Series. Asian Development Bank, February 10, 2016. https://ideas.repec.org/p/ris/adbewp/0474.html.

“Wabah Pernikahan Dini Di Tengah Pandemi Dan Dampak Buruknya – Analisis Data Katadata.” Accessed May 4, 2021. https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5ff7cb5cdf279/wabah-pernikahan-dini-di-tengah-pandemi-dan-dampak-buruknya.

Wodon Q, Male C, Nayihouba A, Onagoruwa A, Savadogo A, Yedan A, Edmeades J, Kes A, John N, Murithi L, et al. Economic Impacts of Child Marriage: Global Synthesis Report, in The Economic Impacts of Child Marriage. International Center for Research on Women ; 2017.

Published by the.ecoMOMics

We are two moms with a mission to share everyday economics with other moms (and women), validate their concerns and unsettling feelings, and support choices they made through informed decisions. Having a shared passion for learning and understanding women’s struggles in every aspect of the economic, social and daily lives has brought us together in this initiative. We believe that every mom (and woman) deserves to choose her way of life. Both of us have some backgrounds in economics, communications, and public policy.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started